Jumat, 01 Maret 2013

Cerpen 1



SAHABAT EMPAT NEGARA

Oleh: Intan Listyaning Putri

Yumi Vhira Ariani, itulah nama lengkapku. Nama yang aneh bukan? Tapi itu yang membuatku sedikit menonjol dari anak-anak lain. Ayahku adalah orang Indonesia sedangkan ibuku adalah orang Jepang. Itu sebabnya namaku agak terasa aneh didengar.
       Aku adalah seorang siswa baru dari ‘Blue International High School’ di Jakarta. Sekolah yang paling populer. Bukannya sombong, ayahku adalah seorang kepala direktur dari sebuah perusahaan yang cukup sukses sedangkan ibuku mempunyai sebuah butik di tengah-tengah kota Jakarta yang banyak dibanjiri pembeli. Itulah alasan kenapa aku bisa masuk sekolah populer itu.
            Ini adalah hari pertamaku masuk sekolah. Walau banyak sekali kejadian memalukan yang tak pantas kuceritakan sewaktu dirumah, seperti ketika adik laki-lakiku, Kyousuke Rizky Pradana, yang sembarangan masuk kamarku dan menarikku dari dalam selimut, hingga ketika aku hampir tersedak nasi goreng saat sarapan, aku akhirnya dapat sampai ke sekolah impianku ini.
            Suasana ketika masuk ke sekolah tersebut sangat berbeda dari sekolah lain. Suasananya tenang dan tertib. Tidak ada siswa yang berlarian di halaman sekolah. Semua siswa hanya duduk-duduk di bangku taman sambil bercanda gurau atau sambil membaca buku. Siswa yang ada di sini pun berbeda dengan siswa di sekolah lain. Rata-rata siswa disini berambut pirang atau berwarna lain. Maklum, ini adalah sekolah bertaraf Internasional. Banyak siswa di sini yang berasal dari luar negeri. Setelah puas mengamati sekitar, aku mengedarkan pandangan mencari pengumuman pembagian kelas.
            “Ketemu!” aku segera berlari menuju papan pengumuman yang ada di depan pintu masuk utama. Butuh usaha ekstra untuk mencari namaku di papan pengumuman yang diserbu banyak murid baru.
            “X-C, X-C,” aku menyusuri lorong sekolah untuk mencari kelasku. Aku juga baru ingat jika aku tidak punya teman di sini. Bodohnya aku!
            Setelah mencari beberapa lama, akhirnya kutemukan kelas yang kucari. Langkahku terhenti ketika di pintu masuk. Ada satu pertanyaan terngiang di kepalaku. Apa aku akan dapat teman?
            “Ah! Apa yang kupikirkan? Aku pasti dapat teman!”
            Aku melangkahkan kakiku masuk ke kelas. Ternyata sudah banyak juga siswa yang masuk. Tampak sebagian dari mereka adalah orang luar negeri. Aku menenangkan diri sejenak dan berjalan menuju bangku pojok kiri.
            Kuletakkan tas oranyeku dan duduk di sana. Mengamati siswa lain yang akan menjadi teman sekelasku hingga tiga tahun mendatang. Tak lama, pandanganku tertuju pada siswa berambut pirang dengan bandana ungu yang baru masuk. Dia memilih tempat duduk tepat di sebelahku.
            “Hi!” aku mencoba menyapanya.
            “Hi!” dia menjawab. Aku benar-benar tidak menduganya. Kukira dia akan menganggapku sok kenal.
            “What’s your name?” aku mendorong kursiku ke mejanya, agar kami lebih enak mengobrol.
            “Aira, Aira Keith. You?” ah, jadi namanya Aira. Cukup bagus juga.
            “Yumi Vhira Ariani, just call me Yumi,” aku harap dia tidak menganggap aneh namaku.
            “It’s a funny name, haha,” kelihatannya harapanku tidak terkabul. Lihat saja, dia kini sedang berusaha menahan tawanya di depanku.
            “It’s not funny!” aku menggembungkan kedua pipiku dengan bibir mengerucut. Itu adalah tanda jika aku marah.
            “Haha, sorry,” Aira menghapus air matanya yang ada di ujung mata. Mungkin karena menahan tawa tadi.
            BUKK!
            Suara tas yang setengah dibanting berhasil mengalihkan pandanganku dan Aira hampir bersamaan. Mata kami tertuju pada seorang gadis berambut hitam kebiruan, warna yang lumayan asing untuk orang Indonesia. Gadis itu duduk tepat di depanku. Sepertinya dia termasuk tipe orang pendiam.
            “Hi, my name is Aira, what’s your?” perkataan Aira membuyarkan lamunanku tentang sisi buruk gadis itu.
            “Kana Masaki. Just call me Kana.”
Hei, ternyata gadis itu tidak sependiam penampilannya. Kurasa aku harus menghapus pikiran kotorku tentangnya tadi.
            “I’m Yumi Vhira Ariyani, just call me Yumi. Kana? Are you from Japan?” aku bertanya lebih jelas padanya. Aku berharap dia akan menjawab dengan kata ‘yes’ ataupun ‘yeah’ dengan begitu aku akan punya teman yang setidaknya bisa berbahasa Jepang. Dulu ketika berumur 1 sampai 8 tahun aku memang tinggal di Jepang maka tidak heran bahasa Jepangku terdengar cukup fasih.
            “Yeah, I came from Japan. Yoroushiku!” Kana membungkukkan badannya. Benar-benar orang Jepang asli.
            “Yokatta! Yoroushiku Kana-chan!” aku ikut membungkukkan badan. Rasanya tidak enak jika aku tidak membalasnya.
            “Eh? Yumi, you can speak Japanese?” Kana sedikit heran denganku.
            “Yeah, watashi wa Nippon de umare, made toshi made soko ni sunde ita,” aku membalasnya tanpa ragu. Di dalam lubuk hatiku aku sangat senang bisa berbicara menggunakan bahasa Jepang lagi diluar rumah.
            “Souka,” Kana tersenyum simpul menanggapi perkataanku.
            “Yumi, Kana!” suara Aira terdengar jelas, membuat kami berdua menatap ke arahnya yang sedang menunjukkan ekspresi bingung, “Sorry, I don’t know what do you mean.”
            Astaga! Aku hampir lupa! Aira kan tidak bisa berbicara bahasa Jepang! Kenapa aku bisa melupakan hal ini?
            “Ah, sorry! That’s mean, I born in the Japan and life there for 8 years,” aku menjelaskan pada Aira, sampai akhirnya Aira menganggukkan kepalanya tanda bahwa ia mengerti.
            “Potrei stare qui?”
            Suara yang terdengar asing menghentikan aktivitas mengobrol kami bertiga. Aku mendongakkan kepalaku. Terlihat gadis berambut pirang sebahu sedang menatap kami dengan tersenyum.
            “Naturalmente,” Aira tiba-tiba menjawab.
            “Grazie!” gadis itu tersenyum manis dan duduk di bangku depan Aira. Aku penasaran apa yang mereka bicarakan tadi. Aku yakin dia bicara menggunakan bahasa Italia, walau sebenarnya aku tidak paham, tapi setidaknya aku tahu. Entah kenapa aku juga berpikir jika bahasa Jepang, Indonesia, dan Inggris lebih mudah dari bahasa Italia, mungkin karena aku jarang mendengarnya.
            “Aira, and......,” aku memotong ucapanku.
            “Yuki. Yuki Aldena,” ah, ternyata nama gadis itu Yuki. Lumayan bagus juga.
            “Aira and Yuki, what do you talk about? I and Kana don’t understand,” aku memandang Kana untuk memastikan dan Kana menjawab dengan sebuah anggukan kecil.
            “Sorry, Yuki ask to us, is she may to sit in front of me,” Aira menjelaskan.
            “So-sorry, I’m from Italy and cann’t speak english well,” Yuki tampak malu-malu mengatakan kekurangannya.
            “It’s okay,” Kana menjawab dengan logat yang lumayan aneh didengar.
            Kami bercakap-cakap sebentar. Dari situlah aku tahu bahwa kami berempat mempunyai kekurangan masing-masing. Aku hanya paham bahasa Indonesia, Inggris, dan Jepang, tapi tidak paham bahasa Italia sama sekali. Kana hanya bisa berbahasa Jepang, dan kurang fasih dan paham bahasa Inggris, Indonesia dan Italia. Aira hanya bisa bahasa Inggris dan Italia. Sedangkan Yuki hanya bisa bicara bahasa Italia.
            Setelah merundingkan beberapa lama, bagaimana caranya agar kami bisa memahami satu sama lain. Akhirnya kami memutuskan untuk mengajari bahasa kami masing-masing. Jadi tidak akan ada lagi salah paham atau ada yang tidak mengerti.
******
            Tak terasa sudah sebulan aku mengenal tiga orang sahabatku itu. Juga telah sebulan lamanya aku belajar bahasa bersama mereka. Walau banyak kejadian lucu bahkan perselisihan saat kami belajar, semua usaha itu membawa hasil, buktinya.........
            “Good morning!”
            “Selamat pagi!”
            “Ohayou!”
            “Buona mattina!”
            Kami sekarang sudah menguasai empat bahasa dan mahir mengucapkannya. Yuki yang menyapa kami dahulu, diikuti oleh Yumi, Aira, dan yang terakhir adalah aku. Kalian pasti tidak menyangka.
            Tahukah kalian? Sahabat tidaklah harus berasal dari satu suku, daerah, atau bahkan negara yang sama. Sahabat mungkin muncul secara tidak terduga. Kita baru sadar di saat mereka ada di samping kita dan mendengar keluh kesah yang kita ceritakan. Aku berjanji dalam diriku sendiri, akan menjaga persabatan kami berempat. Walau kami tidak tahu sampai kapan kami akan bersama.
......*END*.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar