SAHABAT EMPAT NEGARA
Oleh: Intan Listyaning Putri
Yumi Vhira Ariani,
itulah nama lengkapku. Nama yang aneh bukan? Tapi itu yang membuatku sedikit
menonjol dari anak-anak lain. Ayahku adalah orang Indonesia sedangkan ibuku
adalah orang Jepang. Itu sebabnya namaku agak terasa aneh didengar.
Aku
adalah seorang siswa baru dari ‘Blue International High School’ di Jakarta.
Sekolah yang paling populer. Bukannya sombong, ayahku adalah seorang kepala direktur
dari sebuah perusahaan yang cukup sukses sedangkan ibuku mempunyai sebuah butik
di tengah-tengah kota Jakarta yang banyak dibanjiri pembeli. Itulah alasan
kenapa aku bisa masuk sekolah populer itu.
Ini
adalah hari pertamaku masuk sekolah. Walau banyak sekali kejadian memalukan
yang tak pantas kuceritakan sewaktu dirumah, seperti ketika adik laki-lakiku,
Kyousuke Rizky Pradana, yang sembarangan masuk kamarku dan menarikku dari dalam
selimut, hingga ketika aku hampir tersedak nasi goreng saat sarapan, aku
akhirnya dapat sampai ke sekolah impianku ini.
Suasana
ketika masuk ke sekolah tersebut sangat berbeda dari sekolah lain. Suasananya
tenang dan tertib. Tidak ada siswa yang berlarian di halaman sekolah. Semua
siswa hanya duduk-duduk di bangku taman sambil bercanda gurau atau sambil
membaca buku. Siswa yang ada di sini pun berbeda dengan siswa di sekolah lain.
Rata-rata siswa disini berambut pirang atau berwarna lain. Maklum, ini adalah
sekolah bertaraf Internasional. Banyak siswa di sini yang berasal dari luar
negeri. Setelah puas mengamati sekitar, aku mengedarkan pandangan mencari
pengumuman pembagian kelas.
“Ketemu!”
aku segera berlari menuju papan pengumuman yang ada di depan pintu masuk utama.
Butuh usaha ekstra untuk mencari namaku di papan pengumuman yang diserbu banyak
murid baru.
“X-C,
X-C,” aku menyusuri lorong sekolah untuk mencari kelasku. Aku juga baru ingat
jika aku tidak punya teman di sini. Bodohnya aku!
Setelah
mencari beberapa lama, akhirnya kutemukan kelas yang kucari. Langkahku terhenti
ketika di pintu masuk. Ada satu pertanyaan terngiang di kepalaku. Apa aku akan
dapat teman?
“Ah!
Apa yang kupikirkan? Aku pasti dapat teman!”
Aku
melangkahkan kakiku masuk ke kelas. Ternyata sudah banyak juga siswa yang
masuk. Tampak sebagian dari mereka adalah orang luar negeri. Aku menenangkan
diri sejenak dan berjalan menuju bangku pojok kiri.
Kuletakkan
tas oranyeku dan duduk di sana. Mengamati siswa lain yang akan menjadi teman
sekelasku hingga tiga tahun mendatang. Tak lama, pandanganku tertuju pada siswa
berambut pirang dengan bandana ungu yang baru masuk. Dia memilih tempat duduk
tepat di sebelahku.
“Hi!”
aku mencoba menyapanya.
“Hi!”
dia menjawab. Aku benar-benar tidak menduganya. Kukira dia akan menganggapku
sok kenal.
“What’s
your name?” aku mendorong kursiku ke mejanya, agar kami lebih enak mengobrol.
“Aira,
Aira Keith. You?” ah, jadi namanya Aira. Cukup bagus juga.
“Yumi
Vhira Ariani, just call me Yumi,” aku harap dia tidak menganggap aneh namaku.
“It’s
a funny name, haha,” kelihatannya harapanku tidak terkabul. Lihat saja, dia
kini sedang berusaha menahan tawanya di depanku.
“It’s
not funny!” aku menggembungkan kedua pipiku dengan bibir mengerucut. Itu adalah
tanda jika aku marah.
“Haha,
sorry,” Aira menghapus air matanya yang ada di ujung mata. Mungkin karena
menahan tawa tadi.
BUKK!
Suara
tas yang setengah dibanting berhasil mengalihkan pandanganku dan Aira hampir
bersamaan. Mata kami tertuju pada seorang gadis berambut hitam kebiruan, warna
yang lumayan asing untuk orang Indonesia. Gadis itu duduk tepat di depanku.
Sepertinya dia termasuk tipe orang pendiam.
“Hi,
my name is Aira, what’s your?” perkataan Aira membuyarkan lamunanku tentang
sisi buruk gadis itu.
“Kana
Masaki. Just call me Kana.”
Hei, ternyata gadis itu
tidak sependiam penampilannya. Kurasa aku harus menghapus pikiran kotorku tentangnya
tadi.
“I’m
Yumi Vhira Ariyani, just call me Yumi. Kana? Are you from Japan?” aku bertanya
lebih jelas padanya. Aku berharap dia akan menjawab dengan kata ‘yes’ ataupun
‘yeah’ dengan begitu aku akan punya teman yang setidaknya bisa berbahasa Jepang.
Dulu ketika berumur 1 sampai 8 tahun aku memang tinggal di Jepang maka tidak
heran bahasa Jepangku terdengar cukup fasih.
“Yeah,
I came from Japan. Yoroushiku!” Kana membungkukkan badannya. Benar-benar orang
Jepang asli.
“Yokatta!
Yoroushiku Kana-chan!” aku ikut membungkukkan badan. Rasanya tidak enak jika
aku tidak membalasnya.
“Eh?
Yumi, you can speak Japanese?” Kana sedikit heran denganku.
“Yeah,
watashi wa Nippon de umare, made toshi made soko
ni sunde ita,” aku membalasnya tanpa ragu. Di dalam lubuk hatiku aku sangat
senang bisa berbicara menggunakan bahasa Jepang lagi diluar rumah.
“Souka,”
Kana tersenyum simpul menanggapi perkataanku.
“Yumi,
Kana!” suara Aira terdengar jelas, membuat kami berdua menatap ke arahnya yang
sedang menunjukkan ekspresi bingung, “Sorry, I don’t know what do you mean.”
Astaga!
Aku hampir lupa! Aira kan tidak bisa berbicara bahasa Jepang! Kenapa aku bisa
melupakan hal ini?
“Ah,
sorry! That’s mean, I born in the Japan and life there for 8 years,” aku menjelaskan
pada Aira, sampai akhirnya Aira menganggukkan kepalanya tanda bahwa ia
mengerti.
“Potrei
stare qui?”
Suara
yang terdengar asing menghentikan aktivitas mengobrol kami bertiga. Aku
mendongakkan kepalaku. Terlihat gadis berambut pirang sebahu sedang menatap
kami dengan tersenyum.
“Naturalmente,”
Aira tiba-tiba menjawab.
“Grazie!”
gadis itu tersenyum manis dan duduk di bangku depan Aira. Aku penasaran apa
yang mereka bicarakan tadi. Aku yakin dia bicara menggunakan bahasa Italia,
walau sebenarnya aku tidak paham, tapi setidaknya aku tahu. Entah kenapa aku
juga berpikir jika bahasa Jepang, Indonesia, dan Inggris lebih mudah dari
bahasa Italia, mungkin karena aku jarang mendengarnya.
“Aira,
and......,” aku memotong ucapanku.
“Yuki.
Yuki Aldena,” ah, ternyata nama gadis itu Yuki. Lumayan bagus juga.
“Aira
and Yuki, what do you talk about? I and Kana don’t understand,” aku memandang
Kana untuk memastikan dan Kana menjawab dengan sebuah anggukan kecil.
“Sorry,
Yuki ask to us, is she may to sit in front of me,” Aira menjelaskan.
“So-sorry,
I’m from Italy and cann’t speak english well,” Yuki tampak malu-malu mengatakan
kekurangannya.
“It’s
okay,” Kana menjawab dengan logat yang lumayan aneh didengar.
Kami
bercakap-cakap sebentar. Dari situlah aku tahu bahwa kami berempat mempunyai
kekurangan masing-masing. Aku hanya paham bahasa Indonesia, Inggris, dan
Jepang, tapi tidak paham bahasa Italia sama sekali. Kana hanya bisa berbahasa
Jepang, dan kurang fasih dan paham bahasa Inggris, Indonesia dan Italia. Aira
hanya bisa bahasa Inggris dan Italia. Sedangkan Yuki hanya bisa bicara bahasa
Italia.
Setelah
merundingkan beberapa lama, bagaimana caranya agar kami bisa memahami satu sama
lain. Akhirnya kami memutuskan untuk mengajari bahasa kami masing-masing. Jadi
tidak akan ada lagi salah paham atau ada yang tidak mengerti.
******
Tak
terasa sudah sebulan aku mengenal tiga orang sahabatku itu. Juga telah sebulan
lamanya aku belajar bahasa bersama mereka. Walau banyak kejadian lucu bahkan
perselisihan saat kami belajar, semua usaha itu membawa hasil,
buktinya.........
“Good
morning!”
“Selamat
pagi!”
“Ohayou!”
“Buona
mattina!”
Kami
sekarang sudah menguasai empat bahasa dan mahir mengucapkannya. Yuki yang
menyapa kami dahulu, diikuti oleh Yumi, Aira, dan yang terakhir adalah aku.
Kalian pasti tidak menyangka.
Tahukah
kalian? Sahabat tidaklah harus berasal dari satu suku, daerah, atau bahkan
negara yang sama. Sahabat mungkin muncul secara tidak terduga. Kita baru sadar
di saat mereka ada di samping kita dan mendengar keluh kesah yang kita
ceritakan. Aku berjanji dalam diriku sendiri, akan menjaga persabatan kami
berempat. Walau kami tidak tahu sampai kapan kami akan bersama.
......*END*.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar