Jumat, 01 Maret 2013

Cerpen 2


ASA BIRU

Oleh: Intan Listyaning Putri

          Hai semua! Perkenalkan namaku Allisa, panggil saja Lisa. Aku seorang siswa kelas VIII di SMP Negeri 2 Ngawi. Sekolah paling populer di daerah ku dan tempat siswa-siswa pandai menimba ilmu. Hari ini adalah minggu kedua liburan semester. Tentu saja aku sangat senang! Apalagi di SMP ku jarang sekali ada kata libur. Rencananya hari ini aku akan bersepeda mengelilingi kota Ngawi bersama ketiga sahabatku, Lily, Sara, dan Mira.
          Aku mengayuh sepedaku ke rumah Sara. Kami akan berkumpul di sana dahulu sebelum memulai bersepeda. Di sepanjang jalan aku melihat beberapa anak sedang melakukan olahraga seperti lari pagi, senam, dan lainnya.
          “Lisa kau terlambat” Sara mengejekku. Disampingnya sudah ada Lily dan Mira.
          “Maaf, aku malas ngebut” kami yang saling mengejek seperti ini memang biasa. Jadi tidak ada yang merasa sakit hati atau semacamnya, karena kami tahu itu semua hanya bercanda.
          “Ayo kita mulai, mumpung masih pagi” Lily menaiki sepedanya, begitu juga Mira.
          Kami memulai acara bersepeda kami. Udara pagi begitu sejuk menyentuh kulit menambah semangat kami. Di sepanjang jalan kami bersenda gurau, juga tak lupa menyapa beberapa orang yang kebetulan sedang melakukan aktifitas mereka di luar rumah.
          “Hei, kalian tau Dika kan?” Sara bertanya.
          “Ya, siswa yang mendapat peringkat satu se-sekolah saat ulangan semester kan? Memang kenapa dengannya?” Mira menjawab lebih dahulu.
          “Ah tidak, hanya saja dia benar-benar pandai! Bayangkan saja, dia mendapatkan nilai seratus di mata pelajaran matematika dan bahasa Indonesia” Sara memelankan laju sepedanya.
          “Betul! Padahal dia termasuk anak kurang mampu” aku ikut dalam pembicaraan.
          “Pendidikan di Indonesia jaman sekarang berbeda. Sekarang banyak anak kurang mampu yang mempunyai kepintaran yang luar biasa. Sedangkan jarang ada anak yang orang tuanya bergaji tinggi mempunyai kepintaran yang lebih” Lily juga bicara.
          “Ya, tapi aku akan tetap berusaha menyainginya!” aku berseru.
          “Kami juga! Uwaa!” karena terlalu bersemangat Sara lupa jika dia sedang mengendarai sepeda. Hampir saja dia menabrak pagar sebuah rumah.
          “Sebelum itu, perbaiki dulu sifatmu!” aku sedikit mengejeknya
          Kami terus melanjutkan acara bersepeda kami hingga tiba di sebuah perempatan. Kami beristirahat sejenak di sebuah toko.
          “Melelahkan sekali” Mira menyeka peluh di dahinya.
          “Tapi benar-benar asyik” Lily berkata.
          “Mau permen kak?” tiba-tiba seorang anak laki-laki sekitar umur 10 tahun menghampiri kami bermaksud menjajakan jualannya.
          Rambutnya ikal dan jarang disisir, matanya terlihat sayu dan bajunya juga kusut. Ku tatap anak itu untuk beberapa saat. Hatiku tersentuh melihat anak ini.
          “Kamu masih sekolah dik?” Lily bertanya padanya.
          “Aku hanya sekolah sampai kelas dua SD kak, keluargaku sudah tidak mampu lagi untuk membiayaiku bersekolah” anak itu berbicara dengan nada tenang, seakan sudah tahu kondisi yang dialaminya.
          “Mira, apa kau juga merasakannya?” aku berbisik kepada Mira yang ada di sampingku.
          “Ya, ingin rasanya aku membantu anak ini” Mira menjawab dengan berbisik kepadaku.
          Setelah itu aku menatap Lily dan Sara. Mereka membalas tatapanku dengan tatapan yang seakan berkata ‘ayo kita bantu anak ini’. Aku pun mengangguk menanggapi tatapan mereka.
          “Siapa namamu dik?” aku bertanya kepada anak tadi.
          “Banu, kak” jawabnya.
          “Apa kamu punya teman lain disini?” tanya Mira.
          “Ya, tapi tidak banyak kak, hanya lima orang” dia menjawab.
          “Banu, apa kamu dan teman-temanmu ingin bersekolah?” Sara bertanya.
          “Ingin sekali kak!” jawabnya mantap.
          Sara menatapku, Lily, dan Mira bergantian. Kami hanya mengangguk menanggapi tatapannya.
          “Kalau begitu, dua hari lagi datanglah ke gudang besar yang ada di dekat pasar bersama teman-temanmu, kami akan memberikan sesuatu” Sara menyentuh pundak Banu.
          “Ya kak, kalau begitu aku akan kembali berjualan” Banu kembali ke perempatan di mana biasanya dia berjualan.
          Aku menatap Banu yang sedang menjajakan dagangannya. Dia benar-benar anak yang sabar dan kuat.
          “Seharusnya pemerintah memberikan pendidikan gratis bagi anak seperti Banu” kataku.
          “Ya, memang seharusnya begitu” sahut Mira.
          “Jadi, darimana kita akan memulai” Sara menatapku.
          “Kita cari dulu buku-buku kita yang sudah tidak terpakai di rumah” aku berkata.
          “Lalu kita kumpulkan dan bagikan kepada mereka” Lily menambahi.
          “Bagaimana kalau kita juga mengajar mereka, seperti sekolah gratis” Mira memberi usul yang langsung kami setujui. Lebih baik melakukan hal yang berguna bagi orang lain saat liburan seperti ini, daripada berdiam diri di rumah kan?
          “Baiklah, kita berkumpul dua hari lagi ya?” Sara menaiki sepedanya.
          “Ya”.
          Pembicaraan itu mengakhiri acara bersepeda kami. Aku mengayuh sepedaku menuju ke rumah dengan kecepatan sedang.
          “Assalamualaikum...” kataku ketika sampai rumah.
          “Waalaikumsalam, bagaimana acara bersepeda kalian tadi?” ibu bertanya padaku ketika aku masuk rumah.
          “Menyenangkan, oh ya bu, semua bukuku yang sudah tak terpakai ada dimana?” aku bertanya.
          “Ada di gudang, memang kenapa?” ibu balas bertanya.
          “Aku ingin memberikannya pada anak kurang mampu” ibu hanya tersenyum menanggapi perkataanku barusan.
          Aku berjalan menuju gudang. Ternyata benar, semua bukuku mulai dari SD hingga SMP kelas satu ada di sini. Aku memilih buku-buku yang masih layak pakai. Yap! Akhirnya aku mendapatkan lebih dari tujuh buku untuk kuberikan. Kumasukkan semua buku itu ke dalam kardus yang telah aku siapkan sebelumnya. Setelah itu kutaruh kardus tadi di bawah meja ruang keluarga. Tak sabar rasanya ingin segera membagikan buku-buku tersebut.
          2 hari kemudian.....
          Akhirnya hari yang kutunggu datang!! Segera kukayuh sepeda ku ke rumah Sara dan juga tak lupa kubawa kardus yang telah kusiapkan dua hari yang lalu.
          “Lisa, cepat!” Sara melambaikan tangannya. Kupercepat kayuhanku menuju ke arahnya.
          “Ayo kita berangkat!” Sara mulai mengayuh sepedanya. Aku, Mira, dan Lily mengikutinya dari belakang.
          Kami bersepeda menuju tempat yang di janjikan. Kebahagiaan terpancar dari wajah kami semua, padahal kami belum melakukan apapun. Tak sampai lima belas menit kami sudah sampai di gudang tempat ayah Sara bekerja. Untung ketika hari libur tempat itu tidak digunakan.
          “Akhirnya sampai” aku melihat sekitar. Kelihatannya Banu dan teman-temannya belum datang. Sambil menunggu kedatangan Banu kami menata tempat yang akan digunakan nanti.
          Tak lama kemudian yang kami tunggu akhirnya datang. Banu dan teman-temannya terlihat sangat bersemangat. Andaikan semua anak Indonesia selalu berangkat ke sekolah dengan bersemangat seperti ini.
          “Karena semua sudah datang, sekarang duduk yang rapi” Sara berkata seperti guru profesional.
          “Ya” semua anak menurut dan duduk di bangku yang tadi kami siapkan. Walau perlengkapan yang ada tidak terlalu banyak, mereka tak memperdulikannya. Mereka bersikap seolah mereka benar-benar sekolah. Pemandangan ini benar-benar membuat hatiku senang.
          Setelah mereka duduk, aku dan Lily mulai membagikan buku yang kami kumpulkan kemarin. Mereka terlihat senang menerima buku dari kami. Itu terlihat saat mereka langsung membuka dan membacanya.
          “Mira, kini giliranmu” aku berkata pada Mira. Mira langsung mengerti dan mulai menjelaskan beberapa hal di papan tulis yang juga kami temukan di gudang ini tadi.
          “Mereka benar-benar bersemangat” Lily menghampiriku.
          “Ya, seharusnya seperti itulah generasi muda Indonesia” kataku.
          “Memang sekarang banyak anak menganggap pendidikan itu hal mudah, padahal kebalikannya” Sara juga menghampiriku.
          “Yang mereka utamakan hanyalah kesenangan untuk saat ini saja, bukan kesenangan untuk masa depan” aku menatap Sara.
          “Bagaimana kalau kita buka sekolah gratis seminggu sekali?” Lily memberi usul.
          “Kelihatannya menarik” sahut Sara.
          “Ide bagus” aku mengacungkan jempol.
          Sejak saat itulah kami membuka sekolah gratis untuk anak tidak mampu. Berkat bantuan dari teman-teman sekelas dan dorongan dari orang tua, kami makin semangat mengajar anak-anak itu. Kini hari liburku tidak terbuang sia-sia.
          Hari berikutnya terjadilah peristiwa diluar dugaan kami. Gudang tempat kami belajar terbakar. Kami semua menatap gudang itu dengan penuh tanda tanya. Kesedihan terpancar pada wajah Banu dan teman-temannya. Mengapa impian untuk menempuh pendidikan hanya sebatas impian?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar