ASA BIRU
Oleh: Intan Listyaning Putri
Hai semua! Perkenalkan namaku Allisa, panggil saja Lisa.
Aku seorang siswa kelas VIII di SMP Negeri 2 Ngawi. Sekolah paling populer di
daerah ku dan tempat siswa-siswa pandai menimba ilmu. Hari ini adalah minggu
kedua liburan semester. Tentu saja aku sangat senang! Apalagi di SMP ku jarang
sekali ada kata libur. Rencananya hari ini aku akan bersepeda mengelilingi kota
Ngawi bersama ketiga sahabatku, Lily, Sara, dan Mira.
Aku
mengayuh sepedaku ke rumah Sara. Kami akan berkumpul di sana dahulu sebelum
memulai bersepeda. Di sepanjang jalan aku melihat beberapa anak sedang
melakukan olahraga seperti lari pagi, senam, dan lainnya.
“Lisa kau terlambat” Sara mengejekku. Disampingnya sudah
ada Lily dan Mira.
“Maaf, aku malas ngebut” kami yang saling mengejek seperti
ini memang biasa. Jadi tidak ada yang merasa sakit hati atau semacamnya, karena
kami tahu itu semua hanya bercanda.
“Ayo kita mulai, mumpung masih pagi” Lily menaiki
sepedanya, begitu juga Mira.
Kami memulai acara bersepeda kami. Udara pagi begitu sejuk
menyentuh kulit menambah semangat kami. Di sepanjang jalan kami bersenda gurau,
juga tak lupa menyapa beberapa orang yang kebetulan sedang melakukan aktifitas
mereka di luar rumah.
“Hei, kalian tau Dika kan?” Sara bertanya.
“Ya, siswa yang mendapat peringkat satu se-sekolah saat
ulangan semester kan? Memang kenapa dengannya?” Mira menjawab lebih dahulu.
“Ah tidak, hanya saja dia benar-benar pandai! Bayangkan
saja, dia mendapatkan nilai seratus di mata pelajaran matematika dan bahasa Indonesia”
Sara memelankan laju sepedanya.
“Betul! Padahal dia termasuk anak kurang mampu” aku ikut
dalam pembicaraan.
“Pendidikan di Indonesia jaman sekarang berbeda. Sekarang
banyak anak kurang mampu yang mempunyai kepintaran yang luar biasa. Sedangkan jarang
ada anak yang orang tuanya bergaji tinggi mempunyai kepintaran yang lebih” Lily
juga bicara.
“Ya, tapi aku akan tetap berusaha menyainginya!” aku
berseru.
“Kami juga! Uwaa!” karena terlalu bersemangat Sara lupa
jika dia sedang mengendarai sepeda. Hampir saja dia menabrak pagar sebuah rumah.
“Sebelum itu, perbaiki dulu sifatmu!” aku sedikit
mengejeknya
Kami terus melanjutkan acara bersepeda kami hingga tiba di
sebuah perempatan. Kami beristirahat sejenak di sebuah toko.
“Melelahkan sekali” Mira menyeka peluh di dahinya.
“Tapi benar-benar asyik” Lily berkata.
“Mau permen kak?” tiba-tiba seorang anak laki-laki sekitar
umur 10 tahun menghampiri kami bermaksud menjajakan jualannya.
Rambutnya ikal dan jarang disisir, matanya terlihat sayu
dan bajunya juga kusut. Ku tatap anak itu untuk beberapa saat. Hatiku tersentuh
melihat anak ini.
“Kamu masih sekolah dik?” Lily bertanya padanya.
“Aku hanya sekolah sampai kelas dua SD kak, keluargaku
sudah tidak mampu lagi untuk membiayaiku bersekolah” anak itu berbicara dengan
nada tenang, seakan sudah tahu kondisi yang dialaminya.
“Mira, apa kau juga merasakannya?” aku berbisik kepada Mira
yang ada di sampingku.
“Ya, ingin rasanya aku membantu anak ini” Mira menjawab
dengan berbisik kepadaku.
Setelah itu aku menatap Lily dan Sara. Mereka membalas
tatapanku dengan tatapan yang seakan berkata ‘ayo kita bantu anak ini’. Aku pun
mengangguk menanggapi tatapan mereka.
“Siapa namamu dik?” aku bertanya kepada anak tadi.
“Banu, kak” jawabnya.
“Apa kamu punya teman lain disini?” tanya Mira.
“Ya, tapi tidak banyak kak, hanya lima orang” dia menjawab.
“Banu, apa kamu dan teman-temanmu ingin bersekolah?” Sara
bertanya.
“Ingin sekali kak!” jawabnya mantap.
Sara menatapku, Lily, dan Mira bergantian. Kami hanya mengangguk
menanggapi tatapannya.
“Kalau begitu, dua hari lagi datanglah ke gudang besar yang
ada di dekat pasar bersama teman-temanmu, kami akan memberikan sesuatu” Sara
menyentuh pundak Banu.
“Ya kak, kalau begitu aku akan kembali berjualan” Banu kembali
ke perempatan di mana biasanya dia berjualan.
Aku menatap Banu yang sedang menjajakan dagangannya. Dia
benar-benar anak yang sabar dan kuat.
“Seharusnya pemerintah memberikan pendidikan gratis bagi
anak seperti Banu” kataku.
“Ya, memang seharusnya begitu” sahut Mira.
“Jadi, darimana kita akan memulai” Sara menatapku.
“Kita cari dulu buku-buku kita yang sudah tidak terpakai di
rumah” aku berkata.
“Lalu kita kumpulkan dan bagikan kepada mereka” Lily
menambahi.
“Bagaimana kalau kita juga mengajar mereka, seperti sekolah
gratis” Mira memberi usul yang langsung kami setujui. Lebih baik melakukan hal
yang berguna bagi orang lain saat liburan seperti ini, daripada berdiam diri di
rumah kan?
“Baiklah, kita berkumpul dua hari lagi ya?” Sara menaiki sepedanya.
“Ya”.
Pembicaraan itu mengakhiri acara bersepeda kami. Aku
mengayuh sepedaku menuju ke rumah dengan kecepatan sedang.
“Assalamualaikum...” kataku ketika sampai rumah.
“Waalaikumsalam, bagaimana acara bersepeda kalian tadi?”
ibu bertanya padaku ketika aku masuk rumah.
“Menyenangkan, oh ya bu, semua bukuku yang sudah tak
terpakai ada dimana?” aku bertanya.
“Ada di gudang, memang kenapa?” ibu balas bertanya.
“Aku ingin memberikannya pada anak kurang mampu” ibu hanya
tersenyum menanggapi perkataanku barusan.
Aku berjalan menuju gudang. Ternyata benar, semua bukuku
mulai dari SD hingga SMP kelas satu ada di sini. Aku memilih buku-buku yang
masih layak pakai. Yap! Akhirnya aku mendapatkan lebih dari tujuh buku untuk
kuberikan. Kumasukkan semua buku itu ke dalam kardus yang telah aku siapkan
sebelumnya. Setelah itu kutaruh kardus tadi di bawah meja ruang keluarga. Tak
sabar rasanya ingin segera membagikan buku-buku tersebut.
2 hari kemudian.....
Akhirnya hari yang kutunggu datang!! Segera kukayuh sepeda
ku ke rumah Sara dan juga tak lupa kubawa kardus yang telah kusiapkan dua hari
yang lalu.
“Lisa, cepat!” Sara melambaikan tangannya. Kupercepat
kayuhanku menuju ke arahnya.
“Ayo kita berangkat!” Sara mulai mengayuh sepedanya. Aku,
Mira, dan Lily mengikutinya dari belakang.
Kami bersepeda menuju tempat yang di janjikan. Kebahagiaan
terpancar dari wajah kami semua, padahal kami belum melakukan apapun. Tak
sampai lima belas menit kami sudah sampai di gudang tempat ayah Sara bekerja.
Untung ketika hari libur tempat itu tidak digunakan.
“Akhirnya sampai” aku melihat sekitar. Kelihatannya Banu
dan teman-temannya belum datang. Sambil menunggu kedatangan Banu kami menata
tempat yang akan digunakan nanti.
Tak lama kemudian yang kami tunggu akhirnya datang. Banu
dan teman-temannya terlihat sangat bersemangat. Andaikan semua anak Indonesia
selalu berangkat ke sekolah dengan bersemangat seperti ini.
“Karena semua sudah datang, sekarang duduk yang rapi” Sara
berkata seperti guru profesional.
“Ya” semua anak menurut dan duduk di bangku yang tadi kami
siapkan. Walau perlengkapan yang ada tidak terlalu banyak, mereka tak
memperdulikannya. Mereka bersikap seolah mereka benar-benar sekolah.
Pemandangan ini benar-benar membuat hatiku senang.
Setelah mereka duduk, aku dan Lily mulai membagikan buku
yang kami kumpulkan kemarin. Mereka terlihat senang menerima buku dari kami.
Itu terlihat saat mereka langsung membuka dan membacanya.
“Mira, kini giliranmu” aku berkata pada Mira. Mira langsung
mengerti dan mulai menjelaskan beberapa hal di papan tulis yang juga kami
temukan di gudang ini tadi.
“Mereka benar-benar bersemangat” Lily menghampiriku.
“Ya, seharusnya seperti itulah generasi muda Indonesia”
kataku.
“Memang sekarang banyak anak menganggap pendidikan itu hal
mudah, padahal kebalikannya” Sara juga menghampiriku.
“Yang mereka utamakan hanyalah kesenangan untuk saat ini
saja, bukan kesenangan untuk masa depan” aku menatap Sara.
“Bagaimana kalau kita buka sekolah gratis seminggu sekali?”
Lily memberi usul.
“Kelihatannya menarik” sahut Sara.
“Ide bagus” aku mengacungkan jempol.
Sejak saat itulah kami membuka sekolah gratis untuk anak
tidak mampu. Berkat bantuan dari teman-teman sekelas dan dorongan dari orang
tua, kami makin semangat mengajar anak-anak itu. Kini hari liburku tidak
terbuang sia-sia.
Hari berikutnya terjadilah peristiwa diluar dugaan kami.
Gudang tempat kami belajar terbakar. Kami semua menatap gudang itu dengan penuh
tanda tanya. Kesedihan terpancar pada wajah Banu dan teman-temannya. Mengapa
impian untuk menempuh pendidikan hanya sebatas impian?